Timbuktu, kota legenda islam di Afrika Barat
By Padd - Sunday, August 05, 2012
Sungguh tragis nasib
Timbuktu. Kota terpenting dalam sejarah peradaban Islam di benua Afrika Barat
itu, kini telah berubah menjadi wilayah yang terisolasi dan terpencil. Situasi
dan pemandangan ‘negeri di ujung dunia’ itu, begitu kontras bila dibandingkan dengan
Timbuktu 900 tahun lalu – ketika Islam mencapai kejayaannya di wilayah itu.
Sejarah mencatat, pada
abad ke-12 M Timbuktu telah menjelma sebagai salah satu kota pusat ilmu
pengetahuan dan peradaban Islam yang termasyhur. Di era kejayaan Islam,
Timbuktu juga sempat menjadi sentra perdagangan terkemuka di dunia. Rakyat
Timbuktu pun hidup sejahtera dan makmur.
Secara gemilang,
sejarawan Abad XVI, Leo Africanus, menggambarkan kejayaan Timbuktu dalam buku
yang ditulisnya. ”Begitu banyak hakim, doktor dan ulama di sini (Timbuktu).
Semua menerima gaji yang sangat memuaskan dari Raja Askia Muhammad – penguasa
Negeri Songhay. Raja pun menaruh hormat pada rakyatnya yang giat belajar,”
tutur Africanus.
Di era keemasan Islam,
ilmu pengetahuan dan peradaban tumbuh sangat pesat di Timbuktu. Rakyat di
wilayah itu begitu gemar membaca buku. Menurut Africanus, permintaan buku di
Timbuktu sangat tinggi. Setiap orang berlomba membeli dan mengoleksi buku.
Sehingga, perdagangan buku di kota itu menjanjikan keuntungan yang lebih besar
dibanding bisnis lainnya.
Lalu bagaimanakah
peradaban Islam bisa berkembang pesat di negeri yang berada nun jauh di ujung
dunia itu?Tombouctou – begitu orang Prancis menyebut Timbuktu –
adalah sebuah kota di negara Mali, Afrika Barat. Kota multietis itu dihuni oleh
suku Songhay, Tuareg, Fulani, dan Moor. Secara geografis, Timbuktu terletak
sekitar 15 kilometer dari Sungai Niger.
Kota Timbuktu didirikan
suku Tuareg Imashagan pada abad ke-11 M. Alkisah, saat musim hujan, suku Tuareg
menjelajahi padang rumput hingga ke Arawan untuk mengembalakan hewan peliharaan
mereka. Ketika musim kering tiba, mereka mendatangi sungai Niger untuk mencari
rumput. Ketika tinggal di sekitar sungai, suku Tuareg terserang sakit akibat
gigitan nyamuk dan air yang menggenang.
Dengan kondisi yang
kurang menguntungkan itu, mereka memutuskan untuk menetap beberapa mil dari
sungai Niger dan mulai menggali sebuah sumur. Ketika musim penghujan datang,
suku Turareg biasa meninggalkan barang-barang yang berat kepada seorang wanita
tua bernama Tin Abutut – yang tinggal dekat sungai. Seiring waktu, nama Tin
Abutut berubah menjadi Timbuktu.
Sejak abad ke-11 M,
Timbuktu mulai menjadi pelabuhan penting – tempat beragam barang dari Afrika
Barat dan Afrika Utara diperdagangkan. Pada era itu, garam merupakan produk
yang amat bernilai. Di Timbuktu garam dijual atau ditukar dengan emas.
Kemakmuran kota itu menarik perhatian para sarjana berkulit hitam, pedagang
kulit hitam, dan saudagar Arab dari Afrika Utara.
Garam, buku, dan emas
mejadi tiga komoditas unggulan yang begitu tinggi angka permintaannya pada era
itu. Garam berasal dari wilayah Tegaza dan emas diproduksi dari tambang emas di
Boure dan Banbuk. Sedangkan buku dicetak dan diproduksi para sarjana atau
berkulit hitam dan ilmuwan dari Sanhaja. Proses pembangunan pertama kali
berlangsung di Timbuktu pada awal abad ke-12 M. Para arsitek Afrika dari Djenne
dan arsitek Muslim dari Afrika Utara mulai membangun kota itu. Pembangunan di
Timbuktu berlangsung menandai berkembang pesatnya perdagangan dan ilmu
pengetahuan. Saat itu, Raja Soso diserbu kerajaan Ghana. Sehingga, para ilmuwan
dari Walata eksodus ke Timbuktu.
Timbuktu pun menjelma
menjadi pusat pembelajaran Islam serta sentra perdagangan. Di abad ke-12 M,
Timbuktu telah memiliki tiga universitas serta 180 sekolah Alquran. Ketiga
universitas Islam yang sudah berdiri di wilayah itu antara lain; Sankore
University, Jingaray Ber University, dan Sidi Yahya University. Inilah masa
keemasan peradaban Islam di Afrika.
Guna memenuhi ‘dahaga’
masyarakat Muslim Timbuktu akan beragam pengetahuan, buku yang dijual di kota
itu banyak yang didatangkan dari negeri Islam lainnya. Selain itu, tak sedikit
pula buku-buku yang diperjualbelikan adalah hasil karya para ilmuwan dan
sarjana di Tumbuktu. Di kota itu juga sudah ada industri percetakan buku.
Perpustakaan
universitas dan milik pribadi pun bermunculan dengan beragam koleksi buku yang
ditulis para ilmuwan. Ilmuwan terkemuka Timbuktu, Ahmad Baba, pada masa itu
sudah memiliki perpustakaan pribadi dengan jumlah koleksi buku mencapai 1.600
judul. Perpustakaan Ahmad Baba itu tercatat sebagai salah satu perpustakaan
kecil yang ada di Timbuktu.
Pada tahun 1325 M,
Timbuktu mulai dikuasai Kaisar Mali, Masa Mussa (1307 M – 1332 M). Raja Mali
yang terkenal dengan sebutan Kan Kan Mussa itu begitu terkesan dengan warisan
Islam di Timbuktu. Sepulang menunaikan haji di Makkah, Sultan Musa membawa
seorang arsitek terkemuka asal Mesir bernama Abu Es Haq Es Saheli. Sang sultan
menggaji arsitek itu dengan 200 kilogram emas untuk membangun Masjid Jingaray
Ber – masjid untuk shalat Jumat.
Sultan Musa juga
membangun istana kerajaannya atau Madugu di Timbuktu. Padamasa
kekuasaannya, Musa juga membangun masjid di Djenne dan masjid agung di Gao
(1324 M – 1325 M) – kini tinggal tersisa fondasinya saja. Kerajaan Mali mulai
dikenal di seluruh dunia, ketika Sultan Musa menunaikan ibadah haji di tanah
Suci, Makkah pada tahun 1325 M.
Sebagai penguasa yang
besar, dia membawa 60 ribu pegawai dalam perjalanan menuju Makkah. Hebatnya,
setiap pegawai membawa tiga kilogram emas. Itu berarti dia membawa 180 ribu
kilogram emas. Saat Sultan Musa dan rombongannya singgah di Mesir, mata uang di
Negeri Piramida itu langsung anjlok. Pesiar yang dilakukan sultan itu membuat
Mali dan Timbuktu mulai masuk dalam peta pada abad ke-14 M.
Kesuksesan yang
dicapai Timbuktu membuat seorang kerabat Sultan Musa, Abu Bakar II menjelajah
samudera dengan menggunakan kapal. Abu Bakar dan tim ekspedisi maritim yang
dipimpinnya meninggalkan Senegal untuk berlayar ke Lautan Atlantik. Pangeran
Kerajaan Mali itu kemungkinan yang menemukan benua Amerika. Hal itu dibuktikan
dengan keberadaan bahasa, tradisi dan adat Mandika di Brasil.
Sayang, kejayaan
Timbuktu terus meredup seiring bergantinya zaman. Kini Timbuktu hanyalah sebuah
kota terpencil yang lemah. Bahkan nyaris terlupakan. Mungkinkah peradaban Islam
bangkit kembali di negeri itu? heri ruslan (republika)
from : Gaul Islam
0 comments